Mengapa pada akhirnya delegasi indonesia menyetujui menanggung utang utang belanda selama berada di indonesia dalam konferensi meja bundar(KMB)
Urusan utang-piutang sudah menjadi agenda pembahasan serius antara Indonesia dan Belanda beberapa pekan sebelum penyerahan kedaulatan. Rangkaian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag sejak tanggal 23 Agustus 1949 cukup alot membahas persoalan ini.
Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Di sisi lain, pihak RI hanya mau menanggung utang hingga Maret 1942, atau berakhirnya era Hindia Belanda seiring kedatangan Jepang.
Kubu RI punya alasan kuat atas penolakan itu. Jika pelunasan utang ditanggung sampai dengan 1949, itu sama artinya Indonesia membiayai sendiri berbagai penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap RI selama masa revolusi fisik, termasuk dua kali agresi militer yang memakan banyak korban jiwa dan materi. Perundingan sempat buntu. Tapi akhirnya, pada 24 Oktober 1949, dibuatlah persetujuan bahwa Republik Indonesia Serikat (RIS)—negara federasi pengganti RI setelah pengakuan kedaulatan—akan mengambil-alih utang Belanda (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968, 2002: 93).
Prof. Dr. Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017) menguraikan lebih rinci hasil KMB antara Indonesia dan Belanda di bidang ekonomi yang dituangkan dalam Kesepakatan Ekonomi Keuangan atau Financial-Economic-Agreement (hlm. 87).
Pertama, perusahaan-perusahaan Belanda diperbolehkan beroperasi kembali seperti sebelum perang, termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya.
Kedua, Indonesia menanggung pembayaran utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS.
Ketiga, pemerintah Indonesia perlu berkonsultasi atau bahkan meminta persetujuan dari Belanda untuk kebijakan tertentu, misalnya nasionalisasi.
Dan keempat, Indonesia harus menanggung pembiayaan 17 ribu karyawan eks Belanda yang berada di Indonesia selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara mantan KNIL.
Namun, sebagai imbalan atas beban yang berat ini, pemerintah Indonesia tidak diwajibkan memberi jaminan apapun kepada Belanda untuk pembayaran utang atau pinjaman yang berjumlah amat besar tersebut.
Di bawah komando Presiden Sukarno, Indonesia melakukan manuver yang mengejutkan. Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008) menyebut, pada April 1956 Sukarno secara sepihak membatalkan Uni Indonesia-Belanda yang sebelumnya disepakati dalam rangkaian KMB (hlm. 288).
Uni Indonesia-Belanda disepakati pada 17 September 1949, yakni suatu pemerintahan yang dikepalai oleh Ratu Belanda untuk mengurus kepentingan bersama. Indonesia menyepakati ini karena Ratu Belanda tidak mempunyai hak-hak konstitusional, melainkan hanya sebagai simbol kerjasama kedua belah pihak (Insaniwati, 2002: 94).
Lebih dari itu, pada Agustus 1956, Sukarno dikabarkan mengabaikan utang-utang yang dibebankan dalam KMB (Elson, 2009: 288). Bahkan, Sukarno juga menyatakan Irian Barat sebagai provinsi otonom Indonesia (Suluh Indonesia, 21 Agustus 1956). Persoalan utang-piutang dan Irian Barat memang dua persoalan paling rumit dalam KMB. Status Irian Barat kala itu pun masih mengambang.
Sebagai penegasan bahwa Uni Indonesia-Belanda atau Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak diindahkan lagi, Sukarno semakin sering menyerukan konsep satu negara kesatuan Republik dari Sabang sampai Merauke (Jusuf Puar, ed., Risalah Musyawarah Nasional Pembangunan, Volume 1, 1957: 2).
Utang Tumbal Kedaulatan
Pada November 1957, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan kepada Indonesia dan Belanda untuk berunding mengenai persoalan pembayaran utang dan masalah Irian Barat.
Menanggapi seruan PBB itu, Sukarno kecewa. Ia justru mengkampanyekan nasionalisasi aset-aset Belanda yang membuat para pemodal Belanda hengkang dari tanah air. Mengenai Irian Barat, Sukarno menegaskan bahwa waktu “berbicara baik-baik” mengenai masalah ini sudah habis (Suluh Indonesia, 16 Agustus 1958).
Selama tahun-tahun awal setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia menerapkan strategi tambal-sulam. Indonesia mengajukan pinjaman kepada negara-negara Blok Timur, yakni Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, yang sebagian besar hasilnya digunakan untuk membayar utang warisan Belanda.
Note: Mengapa pada akhirnya Indonesia menyetujuih menanggung hutang hutang Belanda, yaitu dikarenakan Indonesia ingin bebas dan merdeka [answer.2.content]
Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Di sisi lain, pihak RI hanya mau menanggung utang hingga Maret 1942, atau berakhirnya era Hindia Belanda seiring kedatangan Jepang.
Kubu RI punya alasan kuat atas penolakan itu. Jika pelunasan utang ditanggung sampai dengan 1949, itu sama artinya Indonesia membiayai sendiri berbagai penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap RI selama masa revolusi fisik, termasuk dua kali agresi militer yang memakan banyak korban jiwa dan materi. Perundingan sempat buntu. Tapi akhirnya, pada 24 Oktober 1949, dibuatlah persetujuan bahwa Republik Indonesia Serikat (RIS)—negara federasi pengganti RI setelah pengakuan kedaulatan—akan mengambil-alih utang Belanda (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968, 2002: 93).
Prof. Dr. Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017) menguraikan lebih rinci hasil KMB antara Indonesia dan Belanda di bidang ekonomi yang dituangkan dalam Kesepakatan Ekonomi Keuangan atau Financial-Economic-Agreement (hlm. 87).
Pertama, perusahaan-perusahaan Belanda diperbolehkan beroperasi kembali seperti sebelum perang, termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya.
Kedua, Indonesia menanggung pembayaran utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS.
Ketiga, pemerintah Indonesia perlu berkonsultasi atau bahkan meminta persetujuan dari Belanda untuk kebijakan tertentu, misalnya nasionalisasi.
Dan keempat, Indonesia harus menanggung pembiayaan 17 ribu karyawan eks Belanda yang berada di Indonesia selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara mantan KNIL.
Namun, sebagai imbalan atas beban yang berat ini, pemerintah Indonesia tidak diwajibkan memberi jaminan apapun kepada Belanda untuk pembayaran utang atau pinjaman yang berjumlah amat besar tersebut.
Di bawah komando Presiden Sukarno, Indonesia melakukan manuver yang mengejutkan. Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008) menyebut, pada April 1956 Sukarno secara sepihak membatalkan Uni Indonesia-Belanda yang sebelumnya disepakati dalam rangkaian KMB (hlm. 288).
Uni Indonesia-Belanda disepakati pada 17 September 1949, yakni suatu pemerintahan yang dikepalai oleh Ratu Belanda untuk mengurus kepentingan bersama. Indonesia menyepakati ini karena Ratu Belanda tidak mempunyai hak-hak konstitusional, melainkan hanya sebagai simbol kerjasama kedua belah pihak (Insaniwati, 2002: 94).
Lebih dari itu, pada Agustus 1956, Sukarno dikabarkan mengabaikan utang-utang yang dibebankan dalam KMB (Elson, 2009: 288). Bahkan, Sukarno juga menyatakan Irian Barat sebagai provinsi otonom Indonesia (Suluh Indonesia, 21 Agustus 1956). Persoalan utang-piutang dan Irian Barat memang dua persoalan paling rumit dalam KMB. Status Irian Barat kala itu pun masih mengambang.
Sebagai penegasan bahwa Uni Indonesia-Belanda atau Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak diindahkan lagi, Sukarno semakin sering menyerukan konsep satu negara kesatuan Republik dari Sabang sampai Merauke (Jusuf Puar, ed., Risalah Musyawarah Nasional Pembangunan, Volume 1, 1957: 2).
Utang Tumbal Kedaulatan
Pada November 1957, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan kepada Indonesia dan Belanda untuk berunding mengenai persoalan pembayaran utang dan masalah Irian Barat.
Menanggapi seruan PBB itu, Sukarno kecewa. Ia justru mengkampanyekan nasionalisasi aset-aset Belanda yang membuat para pemodal Belanda hengkang dari tanah air. Mengenai Irian Barat, Sukarno menegaskan bahwa waktu “berbicara baik-baik” mengenai masalah ini sudah habis (Suluh Indonesia, 16 Agustus 1958).
Selama tahun-tahun awal setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia menerapkan strategi tambal-sulam. Indonesia mengajukan pinjaman kepada negara-negara Blok Timur, yakni Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, yang sebagian besar hasilnya digunakan untuk membayar utang warisan Belanda.
Note: Mengapa pada akhirnya Indonesia menyetujuih menanggung hutang hutang Belanda, yaitu dikarenakan Indonesia ingin bebas dan merdeka [answer.2.content]